Minggu, Juli 05, 2009

"Women Who Love Too Much"

Apakah Anda perempuan yang terlalu mencintai? Segala yang berlebihan atau eksesif itu secara psikologis tidak baik dan tidak jarang berdampak destruktif bagi diri sendiri maupun pihak lain. Terlalu mencintai

Adalah Robin Norwood yang menulis buku sangat populer sekaligus klasik berjudul Women Who Love Too Much. Saking menariknya, saya membeli dua kali, dua kali pula hilang karena dipinjam dan tidak dikembalikan. Sangat memprihatinkan cukup banyak perempuan terjebak dalam hubungan yang merendahkan dan menyakitkan secara fisik, psikis, dan sosial, serta mengalami kesulitan besar untuk keluar dari hubungan tersebut.

Sekadar contoh adalah kasus A (28), perempuan cantik dan sukses yang berulang mengalami perendahan dan aniaya fisik oleh suami yang tidak pernah menafkahi. Ia sedang limbung karena mulai menyadari destruksi yang ditimbulkan dari relasinya, tetapi masih ingin mengikatkan diri pada ilusi masa lalu. Ia mengirim banyak SMS dan e-mail mengungkapkan rasa cintanya kepada sang suami, misalnya: ”Bu sekarang ku lagi merasakan apa yang dia rasakan, amarah dan kebencian. Tapi aku lawan dengan kekuatan pikiran: ’kamu salah mas, cuma akulah orang yang mencintai dan menyayangi kamu, dan kamu akan menyesal kehilangan aku. Kamu akan terus terbayang dan merindukan aku...’”

SMS lainnya, ”Ya, Tuhan aku gak bisa makan karena ingat itu makanan kesukaannya. Seolah kontak batin dalam hati, aku terus panggil-panggil dia.” Bahkan, saat depresi di rumah sakit dan kehilangan gairah hidup, ia yang rela mengundurkan diri dari tempat kerja dan tidak bergaul dengan teman-temannya karena posesivitas suami mengirim sms: ”Kalau sampai terjadi apa-apa padaku, aku ingin dia tahu dia satu-satunya orang yang aku sayang.”

A adalah seorang perempuan yang menjunjung tinggi etika, berusaha untuk bersikap fair dan tidak merugikan orang lain, pekerja yang rasional dan profesional. Sepertinya semua karakteristiknya tersebut hilang ketika ia berhadapan dengan suaminya.

Idealisasi dan ilusi

Satu hal yang menonjol tampil pada beberapa perempuan yang saya temui adalah keterperangkapan mereka dalam mengidealisasi pasangan. Persepsinya tentang pasangan bukan merupakan realitas, melainkan ilusi.

1. Jatuh cinta pada salah satu aspek fisik atau penampilan, yang digeneralisasi pada aspek-aspek lain. A mengatakan: ”Dia menarik, rapi, bersih. Dia intelektual dan smart. Waktu pertama kali bertemu, dia santun banget. Pasti sikap negatif yang sekarang dia tampilkan bukan merupakan aslinya. Dia orang baik Bu, dia cuma marah sama saya karena saya sudah mengecewakan dia.”

2. Membenarkan kekerasan dan tindakan menyakitkan dari pasangan dengan mengembangkan eufimisme dan minimalisasi. Menanggapi tindakan suaminya, A berargumen: ”Dia berniat baik Bu. Dia cuma menghukum saya yang sudah mengecewakan dia. Memang itu uang saya sendiri, tapi saya terlalu boros, jadi lebih baik dia yang menyimpan uang saya.”

3. Mencari-cari dan memaksimalkan kesalahan diri. A terus mencari pembenaran tindakan suaminya dengan menyalahkan diri: ”Dia tidak pernah membiayai rumah tangga. Tapi saya memang tidak minta, Bu. Mungkinkah dia jadi berubah karena kesalahan saya waktu itu ya, Bu? Dia tidak percaya lagi pada saya dan itu mengikis rasa sayangnya?”

4. Menolak mengakui kenyataan, terus mengikatkan diri pada ingatan manis masa lalu, mengembangkan logika baru yang ilusif dan destruktif pada diri sendiri. A bertanya: ”Bila pada dasarnya dia buruk, mengapa saat pacaran dia baik? Dulu dia mengekang tapi tidak memukul saya. Saya tidak percaya dia sejahat itu, dia cinta dan cuma takut kehilangan saya…”

5. Memaafkan hingga bersikap fatalistik. A berkata: ”Saya memaafkan dia. Saya rela menghadapi semua. Saya selalu melihat sisi positif kemarahannya…” Ia lalu menyitir ayat-ayat kitab suci yang bicara mengenai perlunya kita memaafkan orang lain. Bahkan, musuh saja harus dimaafkan, apalagi orang yang kita cintai.

Kewajiban menjaga diri sendiri

A menegasikan diri dengan menggunakan pola berpikir suaminya untuk mengevaluasi dan menghukum diri. Mengubah perilaku individu yang sedang dibutakan cinta dengan menentang atau mengkritik tajam sikapnya sepertinya tidak efektif. Apalagi terlalu menunjukkan kebencian kepada orang yang dicintainya. Jadi, beberapa hal yang dapat kita lakukan adalah:

1. Terus menunjukkan kepedulian dan kekhawatiran akan kesejahteraan dirinya. Waktu A akan menemui suaminya, saya berpesan agar ia hati-hati, minta petunjuk-Nya agar bisa berpikir tenang dan jernih, tidak menemui suaminya sendirian, tetapi ditemani orang lain yang dapat ikut menjaganya.

2. Berespons: “OK, kamu sangat mencintainya. But do you also love yourself?” Menyayangi diri sendiri adalah suatu kewajiban. Untuk sungguh mencintai orang lain, kita harus menyayangi diri sendiri dulu. Bila tidak, itu bukan cinta tapi (maaf) kebodohan yang sia-sia.

3. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya berpikir lebih jauh. Misalnya, ”Sampai kapan kamu akan terus seperti ini?”; ”Emang dia pandai Mbak, so what?? Mbak rela dipukuli karena itu?”; ”Mbak bertanya apa dia cinta? Cinta sejati itu seperti yang kamu tunjukkan: memaafkan, merawat, membantu, mendampingi. Apakah dia melakukan hal seperti itu kepada Mbak?”; ”Sejauh mana orang-orang terdekat Anda menyukai atau tidak menyukai dia? Mengapa?” Pertanyaan penting: ”Kalau sahabat tersayang Anda mengalami yang seperti Anda alami sekarang, apa yang akan Anda sampaikan padanya?”

4. Meski mungkin tidak memahami perasaannya, mendampinginya dalam melewati tahap-tahap proses berduka. A saat ini tidak percaya apa yang terjadi, sedang dalam kondisi sedih dan berulang menyalahkan diri untuk egoisme dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan suaminya.

Pada akhirnya manusia dewasa harus memperlakukan satu sama lain secara saling menghormati dan adil, tanpa standar ganda. Perempuan yang banyak disosialisasi untuk menyalahkan diri dan mengalah tampaknya perlu didukung dan banyak belajar untuk bersikap adil dan hormat pada diri sendiri. Mbak A punya banyak sekali mimpi dan potensi positif, saya mendoakan yang terbaik untuk masa depan Anda.

Kristi Poerwandari, Psikolog

Tidak ada komentar: